Pengembangan
profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki
tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam
era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu
melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang
berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek
kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan.
Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan
generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri
agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
1.
Pada abad industri
banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan
aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan
paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri
dan desain, menemukan dan penciptaan.
2.
Betapa sulitnya mencapai reformasi yang
sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung
akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3.
Meskipun telah
dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan
dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang
dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang
"murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad
Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode
persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad
Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama
tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding
metode-metode baru.
4.
Praktek pembelajaran
di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui
penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan
sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar
kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan
perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.
Akhirnya
yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan
tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan
inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan
redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses
pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan
mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam
genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan
sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan.
Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa
pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan
pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan
profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan
kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi
penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen
tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang
teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu
tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Arifin
(2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai;
(1) dasar
ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan
masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
(2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan
riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan
hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi
di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan
pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
(3)
pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan
profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan
praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan
terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis
yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu;
(1) memiliki
kepribadian yang matang dan berkembang;
(2) penguasaan ilmu yang kuat;
(3) keterampilan untuk membangkitkan peserta
didik kepada sains dan teknologi; dan
(4) pengembangan profesi secara
berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang
tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi
perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah
(1) hubungan erat antara perguruan tinggi
dengan pembinaan SLTA;
(2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru;
(3) program penataran yang dikaitkan dengan
praktik lapangan;
(4) meningkatkan mutu pendidikan calon
pendidik;
(5) pelaksanaan supervisi;
(6) peningkatan mutu manajemen pendidikan
berdasarkan Total Quality Management (TQM);
(7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan
konsep linc and match;
(8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat
pendidikan penunjang;
(9) pengakuan
masyarakat terhadap profesi guru;
(10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar
melalui peraturan perundangan; dan
(11) kompetisi profesional yang positif dengan
pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
koment yaa ,, mkc :)